Jumat, 29 Juli 2016

Measuring the Efficiency of Dompet Dhuafa Program



Zakat Institution (OPZ) is the intermediary organizations based on social. The entire of operating expense is taken from the zakat and infaq funds. It is also justified by Sharia, because OPZ committee is Amilin zakat that also included in eight ashnaf eligible for zakat. (Akbar: 2009). 


In this study, SMART Consulting would try to measure Dompet Dhuafa’s program as Decision Making Unit (DMU) in the level of efficiency. DD is Non Profit Organization for global empowerment. 

The input and output variables derived from the financial statements of Dompet Dhuafa. The input consists of Operating Expenses (X1), and Socialization Cost (X2) while the output variables comprises of Total Deposits Zakat (Y1) and Total Fund Distribution (Y2).

In Table below can be seen, Dompet Dhuafa program that include to efficient (Constant 100%) in 2014 are zakat, infak fund certain infak program. Moreover, Dompet Dhuafa programs that include to efficient in 2013 are infak fund. Based on the explanation, the lowest efficiency of Dompet Dhuafa program is Wakaf fund in 2012 (19.45%). This is able to be a consideration for other program in Dompet Dhuafa that has not been efficient in order to improve the technical efficiency. There are 7 DMU that efficient (100%). And inefficient as much as 23 DMU.

Zakat Institutions, both BAZ and LAZ, need to do the counting of efficiency levels routinely and regularly so that it knows the efficiency level, potential improvement and its benefit and weakness in general, within the framework of efficiency analysis.

Sabtu, 23 Juli 2016

Aplikasi GIS Untuk Pemetaan Dana Himpunan Zakat Nasional


Geographic Information System disingkat GIS adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database.
Setelah melakukan mapping data lahan wakaf di seluruh wilayah Nusantara, kali ini SMART mencoba memetakan daerah di Indonesia terkait dana himpunan zakat dengan pendekatan GIS. Tools yang digunakan adalah Target Map. Data berasal dari Bimas Islam dalam Angka Kementerian Agama. Sayangnya, data terakhir adalah tahun 2013 dengan beberapa 10 provinsi memiliki nilai nihil.

Berdasarkan hasil yang dapat dilihat pada gambar di bawah, 33 provinsi dibagi ke dalam 5 kelompok. Klasifikasi ini didasarkan pada perolehan dana zakat masing-masing provinsi. Kelompok pertama (warna hijau tua) adalah provinsi dengan dana himpunan zakat di atas Rp 200 miliar. Provinsi yang masuk pada kelompok ini yaitu Provinsi Jambi. Provinsi ini adalah daerah dengan himpunan dana zakat tertinggi di Indonesia.
Kelompok kedua adalah provinsi dengan dana himpunan zakat antara Rp 100 hingga 200 miliar (warna hijau muda). Ada 2 provinsi yang masuk kelompok ini yaitu: Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Kedua provinsi ini masuk ke dalam daerah dengan dana himpunan zakat relatif tinggi.
Kelompok ketiga adalah provinsi dengan dana himpunan zakat antara Rp 10 hingga 100 miliar (warna kuning). Sedikitnya terdapat 10 provinsi yang masuk kelompok ini yaitu: Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, NTB, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Provinsi Papua. Daerah-daerah ini masuk dalam provinsi dengan dana himpunan zakat sedang.
Kelompok keempat adalah provinsi dengan dana himpunan zakat antara Rp 1 hingga 10 miliar (warna oranye). Terdapat 7 provinsi yang masuk kelompok ini yaitu: DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat. Daerah-daerah ini masuk dalam provinsi dengan dana zakat yang relatif rendah.
Kelompok terakhir adalah provinsi dengan dana himpunan zakat di bawah Rp 1 miliar (warna merah). Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Provinsi Maluku adalah daerah yang masuk dalam kelompok dengan himpunan zakat paling rendah.

Senin, 11 Juli 2016

Pengembangan Zakat di Indonesia: Dekomposisi ANP


Zakat sebagai sebuah instrumen penting -bahkan sangat penting- dalam keuangan Islam, perlu dirancang dan 'dibangunkan' dari tidur panjangnya. Para stakeholder zakat nasional yang tergabung dalam Forum Zakat (FOZ) telah membuat Cetak Biru Pengembangan Zakat Indonesia hingga tahun 2025. Blueprint ini dijadikan sebagai panduan masa depan zakat di Indonesia.
SMART Consulting sebagai lembaga riset ekonomi keuangan syariah saat ini sedang melakukan penelitian terkait hal ini. Riset dengan metode Analytic Network Process (ANP) ini sudah sampai dalam tahap dekomposisi. Berikut adalah hasil dekomposisinya.
Pengembangan Zakat Nasional terbagi ke dalam 6 aspek pengembangan. Pertama, Kerangka Institusional. Aspek ini terdiri atas: Standar manajemen kinerja OPZ, Standar model kelembagaan OPZ dan Rating lembaga.
Aspek kedua dalam pengembangan zakat nasional adalah aspek Kepatuhan syariah. Aspek kedua ini terdiri atas: Standardisasi fikih zakat baik nasional maupun internasional, Pelaksanaan audit syariah untuk lembaga zakat, serta keberadaan pengawas syariah pada OPZ.
Aspek ketiga adalah Kompetensi SDM Amil, terdiri dari: Standar kompetensi amil, Sertifikasi amil, dan pembentukan ikatan profesi amilin. Diharapkan, di masa mendatang, profesionalitas SDM amil zakat setara dengan para bankir saat ini.
Aspek keempat adalah terkait Penghimpunan. Aspek ini terdiri atas: Pelayanan berbasis informasi dan teknologi, dana himpunan zakat yang tertarget, dan sinergi program antarlembaga pengelola zakat.
Aspek pengembangan zakat nasional yang kelima adalah aspek pendayagunaan. Aspek ini terdiri atas: Ketersediaan pusat data mustahik yang valid dan kredibel, Peta mustahik berbasis ashnaf zakat, serta sinergi program pendayagunaan di antara OPZ.
Yang terakhir dan tidak kalah penting adalah aspek regulasi. Aspek Regulasi terdiri atas: Perbaikan regulasi terkait zakat nasional, Terbentuknya lembaga regulator dan pengawas OPZ (sekelas BI dalam moneter), serta Review berkala terhadap UU Zakat yang ada.
Setelah tahap dekomposisi, penelitian akan berlanjut pada interview terhadap para expert yang kemudian dilakukan perhitungan dan diolah dengan software Superdecision.

Selasa, 05 Juli 2016

Business Intelligence Lembaga Zakat Nasional


Istilah Business Intelligence pertama kali didengungkan pada tahun 1989 oleh Howard Dresner. Dia menggambarkan istilah tersebut sebagai seperangkat konsep dan metode yang berguna untuk meningkatkan pembuatan keputusan dengan bantuan sistem yang berbasiskan fakta atau realita yang terjadi.
Menurut tim studi Busines Intelligence pada Departemen Keuangan Indonesia,Business Intelligence (BI) merupakan sistem dan aplikasi yang berfungsi untuk mengubah data-data dalam suatu perusahaan atau organisasi (data operasional, data transaksional, atau data lainnya) ke dalam bentuk pengetahuan.
Kali ini, konsep BI coba diterapkan pada Organisasi Pengelola Zakat. Ada 5 OPZ yang menjadi sampel yakni: Baznas, Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat dan YBM BRI. Pemilihan kelima OPZ ini adalah berkaitan dengan ketersediaan data laporan keuangan tahunan pada web resminya. Karena tahun terakhir (2015) belum terpublikasi, data yang digunakan mulai tahun 2012 hingga 2014.
Secara umum, dana penerimaan dan penyaluran zakat terbesar dicapai oleh PKPU dan Dompet Dhuafa. Dimana, persentase penyaluran rata-rata setiap OPZ adalah 85% ke atas, kecuali Rumah Zakat yang relatif rendah penyalurannya.
Dari sekian jenis beban (beban SDM, beban operasional dan beban sosialisasi), beban SDM menjadi yang paling besar dibanding beban lain kecuali PKPU. OPZ dengan rata-rata beban SDM terbesar adalah Rumah Zakat.
Secara umum, jika dilihat dari perspektif efisiensi, PKPU menjadi OPZ yang paling efisien. Tercermin dari rata-rata beban yang relatif kecil namun dengan dana penerimaan dan penyaluran yang tinggi. Hal yang sama berlaku dengan YBM BRI dan Baznas. Yang tampak proporsional adalah kondisi DD dimana beban yang relatif tinggi namun diiringi dengan output yang tinggi pula.

Minggu, 03 Juli 2016

Kriteria Pemilihan Lembaga Zakat


Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Indonesia terbagi 2. Baznas sebagai lembaga zakat plat merah dan lembaga amil 'swasta' yang dikenal dengan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Menurut data Dirjen Pajak terakhir, ada sedikitnya 19 LAZ yang telah disahkan oleh pemerintah dan berhak mengelola serta menyalurkan dana zakat. Data yang lain, ternyata ada sebanyak 17.763 BAZ yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia (Bimas Islam Kemenag).
Pertanyaannya adalah, dari sekian banyak OPZ yang ada, ketika berzakat, apa kriteria Anda memilih Lembaga Amil Zakat? Penelitian ini mencoba menjawabnya melalui pendekatan metode Analytical Hierarchy Process. Sebanyak 30 responden menjadi expert.
Hasilnya, kriteria utama pemilihan calon muzakki atas lembaga zakat adalah program yang inovatif (0.265). Jika lembaga amil zakat mampu melakukan inovasi dalam memberikan kemudahan kepada muzakki, maka hal ini akan meningkatkan preferensi masyarakat sehingga diharapkan mampu mengumpulkan lebih banyak dana zakat. Misal, kerjasama dengan perbankan untuk pembayaran zakat via atm atau mobile-banking.
Kriteria kedua adalah profesionalisme (0.235). Semakin profesional amil, semakin tinggi pula tingkat preferensi muzakki terhadap lembaga zakat. Jangan karena sifatnya yang "social based", pengelolaan dilakukan secara serampangan dan alakadarnya.
Kriteria ketiga terkait pemilihan muzakki atas lembaga zakat adalah transparansi keuangan (0.206). Faktor ini menjadi hal krusial. Trust masyarakat akan terjaga saat pengelolaan dana zakat dilakukan secara transparan dan akuntabel. Jika tidak, maka jangan heran banyak masyarakat yang lebih memilih untuk menunaikan zakatnya langsung kepada mustahik, tanpa melalui lembaga.
Selain ketiga faktor di atas, kriteria selanjutnya terkait pemilihan muzakki atas lembaga zakat adalah pelayanan yang baik (0.176) dan faktor kenyamanan (0.118). Hasil ini nampaknya perlu diperhatikan oleh setiap lembaga zakat dalam upaya memahami keinginan dan preferensi calon muzakki. Selamat mengelola zakat! Semoga amanah.

Jumat, 01 Juli 2016

Prediksi Penghimpunan Zakat di Indonesia


Kemarin, Pak Presiden Republik Indonesia bersama jajaran kabinetnya beserta eselon I melakukan pembayaran zakat serentak di Istana Negara. Dengan difasilitasi Baznas, Pak Presiden menunaikan kewajibannya membayar zakat sebesar Rp 40 juta. Konon, ini adalah pertama kalinya tradisi membayar zakat 'berjamaah' di Istana negara. Sebuah hal yang patut kita syukuri.
Anyway, diskusi tentang potensi himpunan zakat di negara dengan mayoritas muslim terbesar ini selalu menjadi perbincangan menarik. Paling tidak dikalangan para pegiat ekonomi keuangan syariah. Mengapa tidak. Karena dana zakat yang berhasil dihimpun, realitanya masih jauh panggang dari api. Dari potensi yang konon hingga Rp 274 triliun pada 2015, berdasarkan data Baznas hanya Rp 3,6 triliun saja yang berhasil dihimpun. Atau setara hanya 1,3% saja.
Memang, ada perbedaan versi hitungan, baik potensi zakat maupun dana zakat yang berhasil dihimpun. Mulai versi Baznas, Kementerian Agama dibawah Direktorat Pemberdayaan Zakat, FOZ (Forum Zakat) hingga hasil penelitian lembaga akademis seperti PEBS FEUI, FEM IPB dan PIRAC.
Sebagai amsal, dana himpunan zakat yang menurut Baznas adalah Rp 3,6 triliun pada akhir tahun lalu, menurut Direktorat Pemberdayaan Zakat Kemenag justru telah mencapai Rp 4,2 triliun. Belum lagi hitungan potensi yang berbeda antara PEBS, FEM IPB dan PIRAC. Berapapun, yang sesungguhnya menjadi PR besar adalah mengapa realisasi masih sangat jauh dari potensi. Hal itu yang perlu dicari jawabannya.
Kali ini, SMART tertarik mencoba menghitung/memprediksi dana zakat yang terhimpun pada 2016 ini. Juga 5 hingga 10 tahun ke depan berdasarkan data time series sejak 2002 hingga 2015. Hasilnya dapat terlihat pada gambar.
Ada 3 skema hitungan: pesimis, moderat dan optimis. Dalam skema pesimis, dana zakat yang berhasil dihimpun hingga akhir 2016 adalah dibawah Rp 3,6 triliun (menggunakan trend analysis). Tentu saja hal ini sangat tidak diharapkan.
Skema kedua, menggunakan pendekatan exponential smoothing dengan trend (alpha 0.5, beta 0,5). Dana zakat yang berhasil dihimpun hingga akhir 2016 adalah sekitar Rp 3,84 triliun atau meningkat 0,2 triliun dari data 2015. Ini adalah hitungan moderat.
Lalu bagaimana hitungan optimis? Dengan menggunakan pendekatan exponential smoothing with trend (alpha 0.7, beta 0,7), dana zakat yang berhasil dihimpun oleh seluruh lembaga zakat hingga akhir 2016 adalah sekitar Rp 4,03 triliun atau meningkat sekitar 0,4 triliun dari data 2015.
Selanjutnya, untuk memprediksi 5-10 tahun ke depan, penelitian ini menggunakan pendekatan 'multiplicative decomposition'. Hasilnya, 5 tahun kemudian atau 2021, zakat yang berhasil dihimpun adalah hanya sekitar Rp 4,71 triliun. Sementara pada 2026 atau 10 tahun mendatang hanya Rp 6,28 triliun. Prediksi ini adalah hitungan 'organik', dimana berasumsi tidak ada effort luar biasa dari pemerintah maupun para stakeholder zakat dalam strategi pengembangan zakat nasional.
So, mari kita mulai selesaikan PR-PR yang tidak sedikit terkait problematika zakat yang kita hadapi. PR tentang: mengapa potensi zakat yang luar biasa besar itu, dalam realisasinya hanya 1,3% saja. Anyway, apakah Anda sudah bayar zakat?